Bagaimana Allah yang penuh Kasih mengijinkan begitu banyak Penderitaan?
hidup kita memang tidak pernah terlepa dari penderitaan. Bagaimana kita dapat memahami penderitaan ? Bagi banyak orang pertanyaan ini menyerang iman Kristen. Pada bagian ini kita akan membahas tiga pemikiran tentang penderitaan
1.Penderitaan tanpa Allah
tidak ada Allah, kita tetap akan menderita, tetapi tidak ada "alam semesta" yang peduli. Tidak ada rancangan, tidak ada tujuan, tidak ada kejahatan, tidak ada kebaikan—tidak ada apa pun kecuali ketidakacuhan yang buta.
2.Pendekatan agama Buddha terhadap penderitaan
sang Budha mengumumkan bahwa hidup adalah penderitaan, dan bahwa satu-satunya cara untuk lepas dari penderitaan adalah dengan memutuskan segala keterikatan dengan hidup.
3 Sudut pandang Kristiani mengenai Penderitaan
Berbagai macam argumen dikemukakan untuk memahami penderitaan, dari yang disebabkan oleh dosa hingga penderitaan oleh penyebab alami.
Kisah Maria dan Marta memberikan kepada kita sebuah titik masuk ke dalam seluruh teologi penderitaan.
Ketika Yesus tidak datang ( Yoh 11 )
Dalam Yohanes 11, saudara laki-laki Maria dan Marta, Lazarus, jatuh sakit. Namun, perempuan-perempuan itu beruntung: mereka bersahabat dengan sang Penyembuh yang suka mengadakan mukjizat, maka mereka menghubungi nomor Yesus. Ayat Alkitab mengatakan, "Yesus memang mengasihi Marta dan kakaknya dan Lazarus" (Yoh. 11:5). Namun, datanglah sebuah kesalahan logika non sequitur yang mengejutkan: "Namun setelah didengar-Nya, bahwa Lazarus sakit, Ia sengaja tinggal dua hari lagi di tempat, di mana la berada" (Yoh. 11:6).
Yesus seringkali menyembuhkan orang asing. Ia bahkan pernah menyem-buhkan dari jarak jauh. Namun, kali ini, ketika sahabat terdekatnya meminta pertolongan, la menunggu.
Kadangkala kota berseru memanggil Yesus sambil meratap, tetapi Ia tidak datang.
Ketika Yesus Datang
Yesus sedang berbicara kepada Marta, yang masih terguncang karena kematian Lazarus—kematian yang menguras emosinya, dan mungkin membahayakan keamanannya, mengingat para wanita di zaman itu sangat bergantung pada kerabat laki-laki mereka untuk hidup. Marta ingin agar Lazarus kembali.
Namun, Yesus mena-tapnya dan berkata, "Akulah Kebangkitan dan Hidup." "Ketika eng-kau berdiri di sini dalam dukacitamu, kebutuhan terbesarmu bukanlah saudaramu kembali hidup, melainkan Aku."
Pernyataan ini lebih mengejutkan daripada kegagalan Yesus datang pada waktu yang tepat. Jauh dari anggapan "guru moral yang baik yang tidak pernah mengklaim diri sebagai Allah" menurut mitologi modern, di sini Yesus tidak mengklaim bahwa la menawarkan panduan hidup yang baik, melainkan bahwa la sendiri adalah hidup, yaitu hidup di hadapan penderitaan, hidup di hadapan kematian.
Yesus Menangis
Maria mendekati Yesus dan menangis tersungkur di kakiNya. Yesus terharu dan sedih harinya. Ia pun bertanya kepada Maria, dimanakah Lazarus dibaringkan.
Kita semua memiliki pengalaman dihiburkan oleh seseorang yang tidak benar-benar memahami apa yang kita alami. Seringkali itu tidak memuaskan. Namun, Yesus bukan Allah yang jauh, yang mengamati pen-deritaan manusia dari jarak yang aman. Ia adalah Allah yang merasa penderitaan kita. Nabi Yesaya menyebut tentang Mesias "seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan" (Yes. 53:3), dan kita melihat di dalam Injil bagaimana Yesus tergugah dengan belas ka-sihan terhadap orang-orang yang menderita.
"Lazarus, Keluarlah!"
Ketika Yesus datang ke makam Lazarus, sekali lagi la bersedih, dar memerintahkan agar batu penutup makam digulingkan. Marta mem peringatkan-Nya, "Tuhan, ia sudah berbau, sebab sudah empat hari is mati" (Yoh. 11:39). Namun, Yesus bersikeras. la berdoa. Lalu la ber-seru, "Lazarus, marilah ke luar!" Dan, orang yang telah mati itu pun keluar (Yoh. 11:43-44).
Kuasa Yesus atas kematian begitu mutlak. Itu adalah satu-satunya pengharapan yang kita miliki ketika menghadapi akhir yang tidak terhindarkan. Namun, apa yang membuat saya takjub dari kisah ini adalah betapa sedikitnya fokus pada Lazarus itu sendiri. Narasinya mengarahkan perhatian kita kepada pertanyaan yang terbesar: Jika Y berencana menyembuhkan Lazarus, mengapa Ia tidak melakukannya sejak semula? Mengapa la membiarkan Lazarus mati, dan menyebab-kan Maria dan Marta berduka selama berhari-hari? Mengapa tidak memberitahu Marta apa yang akan la lakukan? Di dalam kisah yang aneh ini, kita mendapatkan sebuah kilasan akan pandangan Alkitab mengenai penderitaan. Jarak antara kematian Lazarus dan panggilan Yesus yang membangkitkannya dari makam adalah ruang di mana Marta melihat Yesus sebagaimana Dia adanya: hidupnya sendiri.
Kisah ini menjelaskan tentang penderitaan dan doa. Kita seringkali melihat doa sebagai sarana untuk mencapai tujuan: Allah adalah mesin penjual otomatis; masukkan doa dan nantikanlah hasilnya meluncur ke tangan Anda-atau tendanglah mesin itu bila tidak berhasil. Na-mun, kisah Lazarus membalikkan gagasan ini. Yesus bukanlah saran: kepada tujuan, atau sebuah mekanisme yang melaluinya Marta dapat mengubah situasinya. Ia adalah tujuan itu sendiri. Situasi Marta men-dorongnya datang kepada Yesus. Bukan berarti penderitaannya atau penderitaan kita yang terpenting. Itu begitu penting sehingga membuat Anak Allah meneteskan air mata! Tapi arti pentingnya adalah seperti pertemuan pertama penting bagi sebuah pernikahan, atau seperti mo-men kelahiran penting bagi bagi seorang ibu. Itu adalah jalan masuk ke dalam sebuah hubungan, yaitu hubungan yang dibentul penderitaan sebagaimana juga melalui sukacita. Jika, sebagaimana di-katakan Yesus, tujuan dari keberadaan kita adalah berelasi dengan-Nya, maka menemukan Dia di dalam penderitaan kita adalah intinya.
Refleksi dari bagian ini : Ketika menghadapi penderitaan, yang menjadi tujuan kita bukanlah menyelesaikan penderitaan tersebut melainkan bagaimana menemukan Yesus dalam penderitaan itu. Yesus mengungkapkannya dalam kisah ini, dimana penderitaan Marta menjadi jalan masuk agar Marta memulai percakapan dengan Yesus. Jika, sebagaimana di-katakan Yesus, tujuan dari keberadaan kita adalah berelasi dengan-Nya, maka menemukan Dia di dalam penderitaan kita adalah intinya.
Penderitaan dan Dosa
Alkitab sangat jelas mengatakan bahwabmeski secara umum dosa dan penderitaan saling terkait, dan memberontak terhadap Allah dapat menyebabkan penyakit—penderitan yang ditanggung seseorang tidak selalu sebanding dengan dosanya. Contoh paling jelas adalah Ayub dan orang buta yang dicatat dalam Yoh 9:2-3.
Meski kita dapat menemukan arti di balik penderitaan kita, kita seharusnya tidak memakainya sebagai tongkat pengukur kebersalahan, atau berpikir bahwa jika kita berdoa semakin kencang, memiliki iman yang lebih besar, atau melakukan sesua dengan lebih baik, maka hidup kita akan terbebas dari penderitaan.
Penderitaan dan Kasih
Anggapan yang seringkali keliru : Jika Allah mengasihi kita maka Ia tidak akan menginginkan kita menderita. Tetapi, Allah sendiri pun menunjukkan kasihNya lewat penderitaan dan kematianNya. Allah terus menebarkan kasihNya di dalam setiap penderitaan yang kita alami.
Penderitaan dan Cerita
Jika Anda sedang berada dalam penderitaan saat ini, pengharapan akan sebuah akhir yang bahagia mungkin terasa kasar. Seorang sahabat saya yang mengalami keguguran berbagi cerita dengan saya bahwa selama waktu yang lama, ia dan istrinya hanya dapat berdoa dari Mazmur 88, yang berakhir dengan kegelapan. Slogan "Segala yang terjadi mempunyai alasan" seringkali menjadi penghiburan yang usang bagi hati yang berduka.
Di dalam sudut pandang kaum Ateis, tidak hanya pengharapan akan akhir yang lebih baik itu tidak ada; mereka juga tidak meyakini kisah yang ultimat. Yang ada hanya ketidakacuhan yang buta dan tanpa belas kasihan. Di dalam sudut pandang orang Kristen, tidak hanya pengharapan akan akhir yang lebih baik itu ada; tetapi saat ini juga tersedia keintiman dengan Dia yang tangan-Nya tetap berlubang paku setelah kebangkitan-Nya. Penderitan bukanlah aib bagi orang Kristen. Itu adalah benang yang menyematkan nama Kristus ke dalam hidup kita.
Dari Kitab Kejadian hingga Wahyu
Pandangan akan penderitan ini menolong kita untuk memahami inti dari narasi Alkitab. Permulaan Alkitab menggambarkan surga: umat manusia yang berelasi dengan Allah dan makhluk ciptaan yang lain, yang tidak tercemar oleh dosa, penderitaan, atau kematian. Banyak orang menyimpulkan bahwa akhir dari kekristenan adalah kembali ke Eden. Namun, bila kita memeriksa gagasan ini, kita menyadari bahwa itu berarti seluruh sejarah umat manusia adalah waktu kosmis yang terbuang sia-sia. Allah bisa saja menghentikan Adam dan Hawa dari berdosa di awal. Bahkan, jika ada alasan yang mengizinkan dosa— mungkin kehendak bebas-kita dapat membayangkan garis antara awal dan akhir yang lebih pendek dan tidak berbelit-belit daripada yang dijelaskan Alkitab. Namun, "ciptaan baru" menurut Alkitab bukanlah sebuah usaha kembali kepada keindahan yang lama, melainkan sesuatu yang jauh lebih baik.
Di dalam narasi awal kitab Kejadian, Adam dan Hawa mengenal Allah sebagai Pencipta dan Tuhan-bahkan, sahabat. Namun, orang-orang Kristen mengenal Yesus jauh lebih intim: sebagai Juruselamat, Kekash, Suami, Kepala, Saudara Sulung, Sesama Orang yang Menderita, dan Kebangkitan dan Hidup.
Penderitaan dan Etika Kristen
Penderitaan dan Etika Kristen
Di dalam Yesus, orang-orang Kristen memperoleh janji akan seorang Kekasih yang tidak akan meninggalkan mereka, yang duduk bersama mereka dalam penderitaan yang getir sampai akhir- bahkan lebih dari itu. Karena itu, sebagai "rubuh" Kristus di dunia, orang-orang Kristen harus melibatkan diri mereka ke dalam persekutuan dengan orang-orang yang menderita. Ini bukan persekutuan yang tidak memberikan pertolongan praktis. Orang-orang Kristen adalah yang pertama-tama menemukan rumah sakit dan—terlepas dari berbagai kegagalan moral mereka—lebih banyak mengerjakan hal-hal yang mengangkat penderi-taan daripada gerakan-gerakan yang lain. Kita melihat hal ini di dalam sejarah dan kita melihatnya di zaman ini.
Akulah Kebangkitan dan Hidup
Mungkin dalam penderitaan, kita akan bingung seperti kisah Maria yang merindukan kehadiran Lazarus. Tetapi ingatlah perkataan Yesus yang mengatakan Akulah Kebangkitan dan hidup. Kadang kita mempertanyakan hal tersebut, namun akan lebih indah ketika kita semakin bersandar kepada pernyataan Yesus tersebut, bahwa Dialah kebangkitan dan Hidup
Komentar
Posting Komentar